Oleh: Agus Setiyo, pimred publiklampung.co
publiklampung.com -- Setiap tahun, tanggal 25 November menjadi ruang refleksi bagi bangsa Indonesia: Hari Guru.
Pada momentum inilah, keberadaan guru kembali menjadi sorotan publik—dalam berita, media sosial, ruang diskusi masyarakat, hingga obrolan sehari-hari.
Banyak yang disorot, banyak yang dipuji, namun tak sedikit pula yang dikritisi.
Semua mengerucut pada satu pertanyaan besar: masihkah sosok guru menjalankan marwahnya sebagai pendidik bangsa ?
Di antara riuhnya kritik dan pujian itu, kita tidak dapat menutup mata bahwa Indonesia memiliki begitu banyak guru hebat dan luar biasa.
Mereka yang berdedikasi dengan ketulusan, bekerja dalam keterbatasan, mengabdi meski honor belum mencapai standar UMR.
Mereka terus meningkatkan kompetensinya, mengikuti pelatihan, memperbaiki pembelajaran, menghadirkan inovasi di kelas, dan meraih prestasi baik untuk dirinya maupun satuan pendidikan.
Mereka tidak sekadar mengajar, tetapi mendampingi siswa dengan hati. Merekalah wajah terbaik dari profesi guru, pionir perubahan yang menjadi harapan pendidikan Indonesia.
Namun, dalam ruang yang sama, tidak bisa kita pungkiri bahwa masih ada oknum guru yang luput dari esensi tugas dan tanggung jawabnya, sebagai jembatan menuju jendela dunia.
Terkadang, sorotan media menjadi tajam bukan karena guru bekerja, tetapi justru karena abai.
Ada oknum guru yang begitu sibuk mengejar sertifikat pelatihan, mengikuti webinar dari pagi hingga sore, berkeliling dari satu seminar ke seminar lain, sehingga lupa bahwa siswa di kelas yang semestinya menjadi prioritas utama.
Pelatihan penting, tetapi kehadiran untuk di tengah siswa adalah yang utama.
Bahkan yang lebih ironis, ada oknum guru yang lebih nyaman menghabiskan waktu di warung kopi, bercengkerama tanpa keresahan, sementara para siswa menunggu di kelas dengan tanda tanya.
Bahkan ada yang hadir di kelas secara fisik, tetapi jiwanya tidak.
Matanya fokus menatap layar ponsel pintar, hatinya jauh dari proses pendidikan yang sedang berlangsung. Mereka ada, tetapi tidak benar-benar hadir untuk para calon penerus bangsa yang saat itu di bimbingnya.
Dan tidak sedikit pula yang memiliki kebiasaan “sejenak” mengobrol di ruang guru atau ruang lainnya. Awalnya hanya lima menit, tetapi kemudian tanpa sadar menyita hampir setengah jam waktu pelajaran. Obrolan yang tidak mendesak dan bukan bagian dari tugas pokok seharusnya tidak mengalahkan tanggung jawab untuk membersamai para siswa.
Kebiasaan kecil yang seringkali dianggap remeh, namun dampaknya besar: hilangnya kesempatan belajar, pudarnya disiplin, dan runtuhnya teladan yang sejatinya dihadirkan oleh seorang guru.
Refleksi Hari Guru 2025 mengingatkan kita bahwa profesi guru bukan hanya pekerjaan rutin, bukan hanya soal mengisi tugas-tugas administrasi, bukan soal sertifikat, dan bukan pula sekadar hadir di kelas.
Profesi guru adalah panggilan jiwa. Guru adalah teladan, penjaga karakter, penggerak perubahan. Mereka diharapkan hadir bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional, intelektual, dan spiritual.
Hari Guru bukan hanya tentang penghargaan, piala, dan ucapan manis. Hari Guru adalah saat di mana guru menengok diri: apakah Aku sudah sungguh-sungguh menjadi pendidik ?
Mari kita merenung sejenak dan mulai menilai apakah siswa sudah merasakan kehadiranku ? Dan Apakah Aku sudah menjadi teladan ? Atau justru Aku menjadi bagian dari masalah ?
Guru profesional adalah ia yang paling dirindukan oleh siswa, yang kehadirannya menjadi cahaya, yang tindakannya menjadi inspirasi, dan yang sikapnya mencerminkan kemuliaan profesi.
Selamat Hari Guru 2025.
Semoga setiap Guru kembali menemukan makna suci profesinya, dan semoga setiap merasakan hadirnya seorang Guru sejati di dalam perjalanan belajarnya. (*)
0 comments:
Post a Comment